♥Sifat Alenia Yang Alami ♥
Alenia dan Rio memandangi Deo yang tengah menikmati permainan. Keduanya hanya bisa bengong menyaksikan pria dewasa yang ada di depan mereka ini yang sangat menggilai games lebih dari anak kecil.
“Kok gue serasa jadi ngejaga bayi gini yah?” gumam Alenia dan Rio hanya tertawa mendengarnya.
“Main itu yuk,” ajak Rio menunjuk satu permainan battle shoot di pojok ruangan. Alenia pun mengangguk setuju.
Keduanya pun berjalan meninggalkan Deo yang masih asyik dengan permainannya.
“Lihat, aku dapat poin tertinggi,” seru Deo girang, namun ia tidak mendapati Alenia dan Rio di dekatnya. Mata Deo menjelajah seisi ruangan mencari keberadaan mereka, dan.. di sanalah mereka, tengah tertawa bersama menikmati permainannya tanpa mempedulikan Deo. Dengan kesal Deo berjalan menghampiri keduanya.
“Minggir, saya mau main,” Deo mendorong Alenia dan merebut senjata yang dipegangnya, membuat Alenia berteriak kesal,
“Hei..!!”. Tadinya Alenia akan protes, namun melihat tatapan garang Deo, ia menelan kembali aksi protesnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan, keduanya beradu. Baik Deo dan Rio tidak ada yang mau mengalah pada permainan itu.
Rio pun menyadari bahwa Deo mempunyai perasaan khusus pada Alenia. Ia dapat melihat itu dari gelagat Deo yang selalu berusaha menarik perhatian Alenia ataupun mengusik kebersamaan mereka.
“Apa-apaa mereka? gumam Alenia kemudian berjalan pergi meninggalkan keduanya dan duduk di samping mesin minuman dingin.
Ketegangan antara Deo dan Rio mereda saat permainan berakhir. Keduanya pun celingukan mencari keberadaan Alenia yang tiba-tiba menghilang. Mata keduanya pun segera menemukan gadis itu. Mereka terpana takjub menyaksikan gadis usil itu yang tengah menendang mesin minuman dingin karena minuman yang dibelinya tak kunjung keluar.
Keduanya menggeleng serempak saat menyaksikan, sekali lagi Alenia mengambil ancang-ancang dan kemudian dengan sekuat tenaga menendang mesin itu menimbulkan suara berisik di sekeliling mesin.
“Wah...” desis Rio takjub saat Alenia berhasil mengeluarkan minumannya.
“Benar-benar anak itu,” ucap Deo tak kalah takjub. Melihat gadis itu membuka minumannya kemudian menenggak isinya dengan gaya khasnya, membuat Deo dan Rio menyadari sesuatu.
Mereka belum sadar dengan penampilan Alenia yang berbeda saat itu. tidak biasanya Alenia terlihat begitu feminim. Namun tetap saja, aksi yang dilakukannya tadi saat menendang mesin minum membuat sisi feminimnya menghilang.
“Gila lu ya Len,” desis Rio saat sudah berada di samping Alenia.
“Emang kenapa?” tanya Alenia bingung.
“Apa kamu gak sadar, tenaga kamu yang mirip kuli itu bisa menghancurkan mesinnya,” ledek Deo membuat Alenia mendesis kesal dan hampir menghantamkan botol aqua yang ia pegang ke wajah Deo.
“Eh...” teriak Deo mengingatkan. Alenia pun mengurungkan niatnya dan malah menendang botol aqua ke arah tempat sampah. Namun sial bagi Alenia, kembali tendangannya kurang sukses dan menghantam kepala seorang pria.
“Aduh...” pekik Alenia.
“Wah, sejarah terulang kembali nih,” gumam Deo membuat Rio bingung.
Alenia segera menghampiri korbannya untuk meminta maaf dan memungut botol aquanya.
“Aduh Mas, maaf ya,” ucap Alenia penuh sesal.
“Maaf..maaf..kalo gak bisa main bola jangan asal nendang,” bentak pria itu kesal.
"Bola? Inikan botol aqua?" gumam Alenia membuat pria itu berteriak makin kesal.
"Heiii...." bentaknya membuat nyali Alenia menciut. Deo yang melihat perubahan di wajah Narin pun segera menghampiri mereka.
“Maaf Mas, atas kelakuan adik saya. Kalau Mas butuh apa- apa untuk biaya pengobatan, silakan hubungi saya,” Deo memberikan kartu namanya. Si pria membaca kartu nama Deo, ia terdiam sesaat, lalu memandang Deo. Sepertinya ia
mengenal Deo.
“Oke,” balasnya kemudian pergi. Alenia menghela nafas lega, kemudian berpaling ke arah Deo. Deo menatap Alenia tajam. Menunggu reaksi apa yang akan ditunjukkan gadis itu.
“Makasih Pak Deo,” ucap Alenia sungguh-sungguh. Kali ini ia memang merasa sangat berhutang budi pada Deo.
“Lain kali hati-hati, jangan suka nendang botol aqua sembarangan. Cukup saya saja yang jadi korban kamu,” ucap Deo pelan, sehingga hanya ia dan Alenia yang bisa
mendengarnya. Sementara Rio yang berdiri agak jauh dari mereka tidak dapat mendengar apapun. Namun ia dapat melihat dengan jelas bahwa Deo sangat menyukai gadis itu.
Alenia berjalan menuju ruang guru sambil membawa buku pr teman-teman sekelasnya. Bu Ria, guru IPA mereka memintanya untuk membawa buku-buku itu ke mejanya. Sambil bersenandung kecil Alenia berjalan di sepanjang koridor.
Deo yang saat itu baru selesai mengajar di kelas 1, tersenyum melihat gadis itu dari kejauhan. Dan kembali, sifat usilnya muncul. Ia berjalan mendekati gadis itu dan mulai meledek,
“Wah, gak sia-sia kamu makan banyak, tenaga kamu bisa dipakai buat ngangkut buku-buku pr siswa,”
“Udah deh Pak, saya lagi malas nih ngeladenin Bapak,” balas Alenia tenang. Tapi bukan Deo namanya kalau tidak bisa memancing rasa kesal Alenia.
“Oh ya, celana saya yang kena noda permen karet mana?” Alenia tersenyum manis ke arah Deo, Deo bisa menebak pasti ada yang tidak beres dengan senyuman itu.
“Hehe.. anu Pak, nodanya susah ngilang jadi,”
“Jadi?” tanya Deo curiga.
“Jadi celananya saya buang,” balas Alenia sambil tersenyum dengan cengirannya yang khas.
“Apa? Alenia, kamu ini, kok seenaknya buang barang milik orang lain,” jerit Deo mulai kehilangan kesabaran. Padahal celana itu adalah keluaran New York dan Deo bahkan harus terbang ke Amerika untuk mendapatkannya.
“Habis susah dibersihin, kan cuma celana doang,” ucap Alenia tanpa tahu sejarah celana itu.
“Cuma celana kamu bilang? Alenia, itu celana keluaran New York dan susah banget buat dapetinnya,” Deo sudah tidak bisa menahan luapan emosinya.
“Hah? New York? Yang merek terkenal itu?” pekik Alenia tak kalah kaget.
“Waduh, beruntung banget yang mungut tuh celana, dapat celana merek terkenal lagi,” gumam Alenia tidak mempedulikan Deo yang melotot kesal padanya.
“Hah? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu,”
“Habis mau bilang apa lagi? Kan beruntung banget yang mulung, kalau aja dia tahu itu celana New...” Alenia menghentikan kata-katanya karena Deo sudah melotot padanya.
“Dan sebagai balasannya...” ucap Deo sambil mengaduk-aduk tumpukan buku yang dipegang Alenia, “Saya akan buang buku pr kamu biar kita impas,” lanjut Deo kesal sambil melemparkan buku pr Alenia ke atap sekolah.
“Eh..eh..Pak, ja...” Alenia menatap geram Deo, “Kita impas,” ucap Deo puas lalu
pergi meninggalkan Alenia.
“Arghh... dasar Monster...” teriak Alenia namun Deo hanya melambaikan tangannya dari kejauhan.
Alenia segera mengantarkan buku-buku pr itu ke meja guru. Bu Ria yang sudah menunggu dari tadi, bingung melihat Alenia yang baru tiba.
“Kok lama bener?” tanya bu Ria.
“Itu Bu, tadi saya ke toilet dulu. Oh ya bu, buku pr saya, tadi jatuh entah dimana, saya cari dulu ya bu,” jelas Alenia, Bu Riapun mengangguk.
Alenia berjalan menuju koridor tempat ia dan Deo tadi bertemu. Ia akan mengambil buku pr nya, bagaimanapun caranya. Sepanjang jalan ia terus mengumpat dan mengutuk Deo, membuat Sari, Nina dan Melati yang menemaninya bingung
tidak karuan.
“Dasar monster, gak punya perasaan, kurang ajar, makhluk berdarah dingin, dasar nyamuk..”
“Lu kenapa sih Len?” tanya Melati, “Pusing tahu dengar celotehan lu yang gak jelas,”
“Pak Deo, dia lemparin buku pr IPA gue, gara-gara gue buang celananya yang kena permen karet itu,”
“Hah? Segitu doang Pak Deo sampai balas dendam?” tanya Sari.
“Yah.. karena.. celananya itu merek New York..”
“Hah? NEWYORK!!” teriak ketiganya bersamaan. Alenia mengangguk menujukkan wajah polosnya.
“Ya iyalah, songong, celana mahal lu buang seenaknya. Untung dia gak minta ganti, kalo enggak habis deh lu,” jerit Melati sambil memukul kepala Alenia, tidak habis pikir dengan ulah sahabatnya.
“Eh, tahu gejrot, kalo gue tahu itu New York, gue juga gak bakal buang, mending gue lelang di inetrnet,” balas Alenia sewot.
“Yeah...” teriak ketiganya di telinga Alenia.
Dengan tangga yang ia pinjam dari pak Dimas, Alenia memanjat atap sekolah untuk mengambil bukunya. Aksinya itu tentu saja mengundang decak kagum dari murid-murid. Tentu saja, karena saat itu memang jam istirahat.
“Awas jatuh Len, entar kalo lu jatuh bumi bisa terbelah dua,” ledek Dino dari lapangan basket membuat anak-anak tertawa.
“Eh, cungkring, lu kira gue tongkat Nabi Musa, bisa membelah bumi,” teriak Alenia dari atas atap, disambut tawa teman- temannya.
“Euw...ada monyet ragunan lepas, pawangnya pada kemana ya?” ejek Rere saat ia dan Genknya lewat.
“Aduh, talinya mana.. tali.. bahaya loh, kalo sampe monyetnya nularin virus Ebola,” timpal Nayla membuat mereka tertawa.
“Eh Mak lampir, monyet gak bawa virus Ebola goblok, yang ada elu tuh bawa virus rabies, dasar biang resek,” balas Alenia tak mau kalah.
“Euw..monyetnya bisa ngomong,” ledek mereka lagi. Alenia yang sudah teramat kesal pun melemparkan dedaunan yang ada di atap tepat ke kepala mereka membuat para biang gosip itu menjerit dan berlarian. Alenia dan ketiga sahabatnya yang menunggu di bawah pun tertawa puas melihat gadis-gadis centil itu berlarian.
“Dasar cewek stress lu,” teriak Rere dari ujung sana.
“EUW....” balas Melati, Sari dan Nina kompak.
Saat sekolah berakhir, Alenia sudah menyusun rencana pembalasan untuk Deo. Dengan tergesa-gesa, diiringi ketiga sahabatnya, mereka menuju parkiran.
‘”Lu yakin mau ngebalas Pak Deo, Len?” tanya Melati ragu dengan rencana mereka.
“Seratus persen,” ucap Alenia mantap.
“Kalau ketahuan gimana?” tanya Sari mulai panik, “Lagian kasihan Pak Deo dong,”
“Hei, Cumi goreng, Lu temen gue apa Pak Deo? Kalo takut, mending lu balik gih,” Usir Alenia kesal.
“Ya, temen lu,” jawab Sari, “Tapi gue juga fansnya Pak Deo,” sambungnya.
“Ih.. dasar..” Alenia menjitak kepala Sari.
“Udah dong debatnya, cepetan, nanti keburu pada datang,” Nina mengingatkan.
Dengan ganas, Alenia menggemboskan salah satu ban mobil Deo. Setelah misinya selesai, keempat gadis itupun berlari meninggalkan lapangan parkir. Setelah kepergian keempat gadis itu, Deo muncul. Dengan segera ia menyalakan mobilnya
dan keluar dari parkiran.
Namun tak berapa jauh mobil berjalan, Deo merasakan ada yang tidak beres dengan
mobilnya. Deo menghentikan laju mobilnya dan keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Betapa terkejutnya Deo saat melihat ban depan kanan mobilnya kempes tanpa udara sedikitpun. Iapun menendang bannya sambil mengumpat,
“Sialan.. tadi nih mobil baik-baik aja, kenapa sekarang...”. Sebuah pemikiran terlintas di kepala Deo. Ini pasti ulah gadis itu. Alenia. Siapa lagi yang akan membalasnya habis-habisan selain dia. Deo hanya bisa memandangi ban mobilnya sambil menghela nafas panjang.
“ Alenia.. Ada saja yang kamu lakukan untuk membalas saya,” desahnya. Sementara tak jauh dari tempatnya berdiri, keempat gadis nakal itu tertawa geli melihat tampang kesal guru tampan mereka.
“Jangan macam-macam dengan Alenia Putri, Alenia dilawan...” gumam Alenia puas.